The Good Earth (Bumi yang Subur)

The Good Earth


Pengarang    : Pearl S. Buck, 1932
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama, 2008
Edisi              : Cetakan Kelima Oktober 2008

Latar Cerita
Meski kisah Good Earth berfokus pada keluarga petani Wang, Buck juga membahas secara umum tentang perubahan yang terjadi di Cina, pemberontakan atau kerusuhan yang berakhir dengan penyerangan terhadap keluarga-keluarga kaya oleh rakyat jelata, yang disebabkan kesenjangan sosial yang sudah terlalu jauh. Dalam tulisan sejarah, era ini berlangsung pada tahun 1911 hinga 1912 dimana  mulai muncul organisasi-organisasi yang ingin menggulingkan kekuasan Dinasti Manchu. Tokoh yang berperan dalam revolusi ini sebagaimana yang pernah dipelajari dalam sejarah di bangku sekolah adalah Sun Yat Sen. 

Wang Lung Si Petani
Good Earth adalah seri pertama dari Trilogi yang ditulis Pearl S. Buck. Dalam buku pertama kisah yang ditulis Buck sebagian besar berdasarkan sudut pandang Wang Lung si petani, yang juga merupakan anak seorang petani. Wang Lung yang telah cukup umur dan memiliki sedikit harta kemudian meminta istri, seorang budak dari keluarga Hwang, yang bernama O-Lan. Pernikahan keduanya dijalani secara mekanis dan praktis, tanpa banyak rasa, tanpa ada cinta. Hanya menjalani kehidupan selayaknya atau seperti yang orang kebanyakan lakukan. 

Wang Lung adalah orang yang cukup beruntung, dengan modal tanah yang diwarisi dari ayahnya, ditambah tekad baja dan keberuntungan, akhirnya Ia berhasil menjadi orang terpandang, bahkan posisinya kelak sejajar dengan keluarga Hwang. Kemiskinan telah menguji Wang Lung dan ia lulus dengan baik. Namun, kekayaan mengubah kehidupan dan kebiasaan Wang Lung, meskipun masih tersisa kelembutan hati dan kebaikan dibalik kebiasaannya meledak-ledak. 


O-Lan yang Tak Pernah Jadi Nyonya Besar
Kalau ada ungkapan bahwa di belakang pria yang sukses selalu ada wanita tangguh yang membersamai dan mendukung. Demikian pula dengan kisah Wang Lung. Walaupun pada masa itu perempuan adalah warga negara kelas dua dan tidak masuk dalam silsilah keluarga.

Kehidupan Wang Lung awalnya penuh dengan penderitaan. Di tengah kelaparan yang melanda, hingga upaya keluarga Wang mengungsi ke selatan, O-Lan selalu ada. Meski Ia seakan bisu dan hanya berbicara yang penting-penting saja, O-Lan justru bisa berbicara tegas dan menentukan arah kehidupan keluarga Wang Lung, saat suaminya dilanda kebingungan dan krisis kepercayaan diri. 

O-Lan adalah figur sempurna, contoh istri yang berbakti pada suami, anak-anak, bahkan keluarga besar suaminya. Namun saat semuanya sepertinya sudah bisa berbahagia, justru O-Lan yang menderita sendirian. Kebanggaannya hanyalah bisa melahirkan anak laki-laki penerus keluarga Wang. Namun, hal itu juga tak bisa menjadikan dirinya selayaknya Nyonya di rumahnya sendiri. O-Lan bukan perempuan yang termasuk kategori cantik dalam budaya Cina saat itu. Keterampilan dan kemampuannya memanfaatkan semua sumber daya yang ada demi keluarga, juga bukan hal yang masuk perhitungan agar O-Lan dihargai secara semestinya. 

Karakter O-Lan bisa membuat kita menangis sendirian, dan setidaknya mensyukuri bahwa kita tidak hidup di jaman O-Lan, dimana perempuan hanya dipandang dari kecantikan dan kemampuannya melahirkan anak laki-laki. 


Tradisi Mengikat Kaki 
Kriteria kecantikan yang identik dengan rasa sakit atau penyiksaan, seperti demi memiliki kaki yang mungil, anak perempuan haruslah diikat kakinya supaya tidak tumbuh besar. O-Lan tidak melakukan hal demikian, orang tuanya tidak mengikat kakinya, dan Ia memiliki status sosial yang rendah. Namun beruntung baginya, dengan kondisi kakinya yang normal, ia justru menjadi penyelamat keluarga, karena masih bisa berdiri, berjalan dengan normal, dan merawat anak-anaknya dengan baik. O-Lan juga masih bisa membantu Wang Lung bekerja di ladang. Meski hal ini tidak membuat Wang Lung berhenti mengeluhkan istrinya yang tidak cantik dan kakinya yang besar. 

Tradisi mengikat kaki pada perempuan Cina yang menandai status kaum elite dimulai sejak zaman Dinasti Tang 618 M dan terus diturunkan dari generasi ke generasi dan akhirnya menjadi standar kecantikan universal. Kondisi kaki yang kecil menyebabkan wanita Cina pada masa lampau memiliki keterbatasan untuk bergerak, seperti berdiri dan berjalan. Dengan demikian, kehidupan mereka sangat bergantung pada kaum laki-laki dan hal ini tentu melanggengkan sistem patriaki. Selain itu, praktik ini juga menimbulkan permasalahan kesehatan serius pada wanita-wanita Cina. 

Praktik mengikat kaki mulai dilarang sejak tahun 1912, tetapi masih terus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tahun 1949, ketika partai komunis mengalih alih kekuasaan, prakitik ini benar-benar berakhir. 


Kelaparan
Indonesia hanya mengenal dua musim, yakni kemarau dan penghujan. Meski berita mengabarkan sawah-sawah petani terendam banjir dan berisiko gagal panen, atau kemarau berkepanjangan yang menyebabkan beberapa daerah dilanda kekeringan, sungguh beruntung kita hampir tidak pernah mengalami bencana kelaparan. 

Wang Lung Si Petani mengenal empat musim. Oleh karena itu, Ia harus pandai membaca tanda-tanda dan menghitung benar waktu yang tepat untuk menanam, sehingga tidak mengalami gagal panen karena kekeringan, banjir, atau musim dingin berkepanjangan. Namun, kehendak alam tak selalu dapat diprediksi dan dilawan. Suatu masa Wang Lung dan keluarganya mengalami masa sulit yang cukup panjang. Segala yang bisa dijadikan bahan makanan sudah dimanfaatkan, mulai dari aneka daging hewan, kulit pohon, hingga makan tanah agar bisa bertahan. Hingga akhirnya daya hidup memudar dari keluarga Wang Lung. Mereka sudah tidak bisa lagi merasakan lapar. Jika ada makanan, mereka harus memakan dan mencernanya sedikit demi sedikir. 

Di tengah krisis ini, Wang Lung memutuskan untuk mengungsi ke daerah Selatan. Tidak dijelaskan benar oleh Buck, daerah asal Wang Lung dan arah selatan yang dituju. Namun, dari kota di Selatan inilah sepertinya revolusi Cina/Tiongkok dimulai. Selain Misionaris yang mulai mengenalkan konsep Jesus Sang Juru Selamat dengan membagi-bagikan pamflet, kaum komunis juga memulai kampanye yang mengenalkan rakyat soal pemerataan. Bahwa kemiskinan rakyat jelata adalah karena kesalahan kaum kaya yang tamak dan serakah. Oleh karena itu, kaum miskin harus merebut apa yang menjadi hak mereka. 

Malang Wang Lung yang tidak mengenal huruf dan hanya memahami kehidupan adalah hasil dari tanahnya, konsep yang ditawarkan kaum komunis tidak dapat diterima Wang Lung. Akhirnya, Ia hanya mengambil sedikit keuntungan dari kerusuhan yang terjadi di Kota Selatan itu, dan segera kembali ke desanya. 


Konsep Spiritual  
Wang Lung tidak mengenal Tuhan, sebagaimana agama samawi mengenal konsep Tuhan. Wang Lung menyembah dewa-dewi dan karena Ia adalah petani, maka Ia menyembah Dewa Ladang. Agar hasil pertaniannya baik, secara berkala tak lupa Wang Lung membeli dan membakar dupa, serta mengganti baju dewa-dewi yang ada di dalam tempat pemujaan, tak jauh dari ladangnya. 

Kelaparan dan kesulitan yang dialamiya membuat Wang Lung marah pada Dewa Ladang. Ia pun akhirnya mengabaikan mereka, apalagi setelah tanpa pemujaan pun Ia bisa menjadi petani yang kaya raya. Wang Lung kembali pada dewa-dewinya saat cucu pertamanya akan lahir. Ia yang merasa gamang akhirnya pergi ke kuil untuk mengantarkan sesembahan pada Dewi Kerahiman dan berharap cucu yang akan lahir itu adalah laki-laki. Kali ini doa Wang Lung mengandung ancaman dan tawar-menawar. Jika segala sesuatu sesuai keinginannya, maka Ia menjanjikan sesembahan lain, jika tidak maka Ia tidak akan kembali dan mengantarkan apapun lagi. 


Candu 
Nyonya Besar Keluarga Hwang adalah tokoh pertama yang diperkenalkan penulis sebagai pecandu. Dalam hal ini Nyonya Besar benar-benar menghisap candu atau opium. Bangsa Cina sebenarnya sudah mengenal candu sejak abad ke-16. Namun, Dinasti Qing melarang penghisapan candu sejak 1729, karena efeknya yang merusak. Candu kembali marak di Cina setelah Perang Candu I dan II dan dibawa oleh bangsa Eropa. Pada masa ini pihak barat terus melakukan ekspansi dagang ke Cina, dan membuka akses orang asing ke pedalaman Cina. Sebelumnya, Cina sangat menutup diri dari bangsa asing.

Kembali ke masa Nyonya Besar Hwang menghisap candu. Saat itu candu adalah barang mahal dan tentu belum dikenal perihal masalah ketergantungan zat atau adiksi. Seperti halnya kecanduan opioid atau yang beberapa dasawarsa kemudian dikenal dengan heroin atau putaw, kebiasaan menghisap candu Nyonya besar juga menjadi hal yang problematik. 

Perlahan-lahan kekuasaan dan pengaruh keluarga Hwang surut, setelah sepetak demi sepetak tanah milik keluarga dijual untuk memenuhi kebutuhan Nyonya Besar akan candu dan uang perak dan emas dihamburkan Tuan Besar untuk para selirnya. Nyonya Besar menutup mata. Silakan semua berbuat sesukanya, yang dipedulikan dirinya hanya duduk di singgasananya dengan pipa terisi penuh candu, hingga Ia tak sadarkan diri, melupakan dunia, dan jatuh tertidur. Lama-kelamaan kesehatannya semakin menurun. Berat badannya menyusut. Tapi apa peduli. 

Perilaku Nyonya Besar ini akhirnya juga mengilhami Wang Lung untuk "membereskan" permasalahan rumah tangganya. Membunuh atau meracuni mungkin terlalu keji, tapi membuat orang kecanduan bisa jadi solusi. Demikianlah pertimbangan Wang Lung. 


Tentang "Bumi yang Subur"
Buku ini sudah tahunan mengisi rak buku. Namun bukan buku milik saya. Mungkin karena itu butuh waktu lama untuk saya mengumpulkan niat membaca. Begitu mulai membaca, ternyata memang page-turner. Total 34 bagian dalam 507 halaman saya tamatkan dalam waktu kurang dari satu minggu. 

Layak dibaca dan jadi  koleksi. Karya yang bisa membawa kita merasakan kerasnya kehidupan Wang Lungs Si Petani dan kepahitan O-Lan, budak perempuan yang tak banyak bicara dan senantiasa menerima apapun yang dilemparkan kehidupan kepadanya. Selain itu, cukup dapat menggambarkan dinamika kehidupan di Tiongkok pada masa lalu. 

Sayangnya, penulis masih sangat berfokus pada Wang Lung dan sifatnya yang egosentris. Akhirnya tidak ada yang lebih penting dari diri dan kebutuhannya sendiri. Hal ini menyebabkan deskripsi tokoh lainnya, kecuali O-Lan menjadi agak kabur. Hal ini mungkin karena segala sesuatunya hanya dilihat dari kaca mata Wang Lung seorang. Semoga di buku kedua dan ketiga bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Menurut banyak ulasan, buku ketiga dari trilogi ini adalah penutup yang cukup baik. 

Trilogi The Good Earth karya Pearl S. Buck: 
  1. Bumi yang Subur
  2. Wang si Macan
  3. Runtuhnya Dinasti Wang

Kembali ke Masa Kini
Membaca The Good Earth membawa saya  pada bayangan akan bencana kelaparan dan ketidaksetaraan gender yang demikian merugikan perempuan. Dari jeda ke jeda membaca, saya bisa mensyukuri apa yang tersedia di meja makan. Tidak pernah kita sampai harus mengunyah tanah untuk bisa bertahan hidup. 

Demikian juga urusan kecantikan dan standarnya yang tidak masuk akal. Syukurlah mengikat kaki supaya tetap kecil, sehingga dikatakan indah dan cantik, sudah menjadi praktik yang dilarang. Meski perempuan masa kini tetap ahli menyiksa diri sendiri, dengan menggunakan stiletto yang haknya menghujam tanah dan membuat posisi kaki saat berdiri menjadi luar biasa tidak nyaman. Standar lainnya adalah memutihkan kulit wajah dengan berbagai cara yang menyisakan flek hitam saat penggunaan skin care dihentikan, atau kulit wajah bak kepiting rebus saat dijemur di bawah matahari dan bekeringat setelah berolahraga. 

Setidaknya kita sekarang bisa memilih. Kebebasan berpikir, berpendapat dan mengunggahnya ke sosial media juga membantu perempuan yang mau menyadari keotentikan dirinya untuk memilih kehidupan seperti apa yang Ia jalani. Hidup untuk dirinya sendiri dan melaksanakan peran dalam kehidupan sebaik-baiknya, atau sibuk mengikuti standar kecantikan yang katanya universal. 

Sumber Pustaka Lainnya: 
National Geographic Indonesia
https://wawasansejarah.com/perang-candu-di-cina/ 

No comments:

Post a Comment

What I Talk About When I Talk About Running

Belum banyak buku Haruki Murakami yang saya baca. Setelah membaca beberapa buku, saya juga belum memutuskan apakah Haruki Murakami adalah pe...