Cerita dari "Nadira (9 dari Nadira)"


Sekelumit Rasa tentang "Nadira"
"Nadira" adalah hadiah dari seorang teman baik, yang rela membawakan buku ini dalam perjalanan ke Indonesia Timur. Ia menyusul saya untuk menunaikan pekerjaan di Manokwari. Jadi buku ini sudah terbang bolak-balik melintasi laut dan pulau. "Nadira" juga menjadi teman perjalanan saya saat pulang. 

Menulis ulasan tentang Nadira sebenarnya memiliki makna yang lebih dari sekadar mengulas. Membaca "Nadira" mengingatkan saya tentang kehidupan lebih dari satu dekade silam. Saat saya hampir setiap hari berada di ruang redaksi sebuah harian terkemuka di Jawa Barat. Saya bukan wartawan seperti Nadira, tapi saya belajar banyak dari dinamika yang terjadi di dapur redaksi. Saat itu, koran cetak masih memiliki daya dan berjaya. Belum tergilas berita online dan media sosial, yang meskipun cepat menyampaikan kabar, jarang memiliki kedalaman isi. Hingga sekitar tahun 2012, koran masih dicetak dengan menggunakan kertas berkualitas baik, dengan jumlah halaman yang mencapai puluhan. Laporan mendalam tersaji hampir di setiap edisi, yakni suatu laporan terencana yang disusun berhari-hari. Perlahan kualitas ini menurun, hingga kini koran cetak hanya tinggal beberapa lembar saja, itupun dengan hasil cetakan yang tidak bisa dibilang baik. Kios koran/majalah langka ditemui. Pedagang asongan yang menjual koran di lampu merah pun kini rompi yang bertuliskan nama-nama media yang mensponsori mulai pudar warnanya. Tampaknya juga tak akan ada rompi pengganti. 

Cerita tentang Nadira juga membuat saya berefleksi tentang diri saya saat ini. Saya bukan lagi bagian dari ruang redaksi. Kini saya bagian dari institusi yang kerap menjadi sorotan dan objek kritik para jurnalis. Namun, entah bagaimana Mba Leila dapat menuliskannya dengan memenuhi rasa keadilan. Berikut saya cuplik dari "Nadira":

Masyarakat wartawan, di mata Nadira, adalah sebuah masyarakat yang selalu menuntut hal-hal yang besar, yang terbaik, terkadang muluk dan paradoksal. Sebuah masyarakat yang, terkadang tidak sadar, merasa moralnya berada di atas apa yang disebut sebagai 'masyarakat awam'. Sebuah kelompok yang mengklaim dirinya sendiri sebagai pembawa kebenaran, atau bahkan mesiah yang bisa menyembuhkan borok dalam pemerintah dan borok dalam masyarakat. Masyarakat wartawan mirip rombongan komentator olahraga yang dengan asyiknya berkata, "Ya, tendangannya kurang akurat kali ini saudara-saudara...," dan mereka sendiri bukanlah pemain bola. Bahkan menyentuh lapangan rumput pun tak pernah. 

Wartawan adalah observer. Pengamat yang seringkali tidak memiliki keahlian dalam hal atau bidang yang Ia tulis. Wartawan mengandalkan pengamatan dan data yang diperoleh dari wawancara dengan narasumber, data (dalam bentuk statistik) atau data yang dikumpulkan di lapangan. Oleh karena itu, dalam sebuah berita yang menyangkut berbagai pihak atau minimal dua pihak, wartawan harus memenuhi prinsip "cover both side". Tidak bisa hanya mengandalkan keterangan dari satu pihak saja. Ini adalah sisa-sisa ingatan dari pelatihan jurnalistik yang pernah saya ikuti enam belas tahun silam. 

Secangkir Teh 
Jika dalam kumcer Nadira ada petugas OB yang selalu menyediakan kopi jahe, saya jadi teringat, sungguh nikmat rasanya saat tiba di kantor, tak berapa lama ada yang mengantarkan secangkir minuman hangat ke meja. Teh atau kopi sesuai permintaan saja. Teh yang dibuat dengan menuang air yang masih bergolak di atas panci, lalu ditambahkan gula pasir, dikocek, diantarkan dengan bersemangat, dan ditambah bonus senyuman. Interaksi antar manusia yang menimbulkan rasa hangat, rasa kebersamaan, dan mengingatkan bahwa kita tidak sendirian di dunia yang terkadang kejam ini. 

Menjelang siang, jika mulai lapar, tapi malas beranjak keluar kantor, cukup memanggil OB yang sedang bertugas untuk membelikan kita makanan. Di jam makan siang, biasanya ada pemandangan kumpulan para OB yang sedang menikmati makan siang. Ada yang membawa nasi dan lauk pauk dari rumah. Atau ada yang mendapatkan jatah lauk-pauk sebagai upah membelikan makanan karyawan lain. Kemudian mereka akan menggabungkannya, dan menyantapnya bersama-sama. Tidak ada yang tertinggal. Kalau kebetulan kita lewat, mereka tak lupa menawarkan kita untuk ikut bersantap. 

Dahulu mereka adalah bagian resmi dari perusahaan. Para OB mendapatkan juga predikat karyawan. Belakangan, untuk mengurangi beban perusahaan security dan OB bukan lagi karyawan organik, tetapi karyawan outsourcing. Di mata neraca keuangan perusahaan, kesetiaan atau hubungan emosional tidak masuk pertimbangan. Mana yang merupakan beban dan bisa dihilangkan, tentu lambat laun akan dipangkas. 

Pembelaan terhadap para OB yang dilakukan para redaktur dan wartawan di harian tempat Nadira bekerja, masih mendapatkan pertimbangan manajemen dan diterima pada masa itu. Namun, saat ini bagaimana pembelaan bisa dilakukan, manakala posisi wartawan pun adalah karyawan kontrak. 

Kita masih penikmat secangkir teh atau kopi yang hangat. Namun, kehidupan sudah jauh melesat ke arah yang mungkin tak pernah kita duga. Secangkir minuman penghangat hati, yang menemani lahirnya rangkaian huruf yang menjelma menjadi kata, melahirkan rangkaian kalimat, membangun sebuah tulisan yang kelak menjadi bagian dari sejarah suatu masa, yang disebut silam. 

Masa Kini
Saat ini saya mungkin bisa menjadi salah satu subjek berita "Nadira". Beberapa waktu lalu saya sempat diwawancara mahasiswa yang sedang magang di kanal media/berita lokal independen, yang seringkali mengangkat isu masyarakat marjinal. Isu yang mungkin tak akan Anda temui di media-media besar.

Saat ini saya ada di sisi "pemerintah", pegawai berseragam. Saya senang bukan kepalang, saat kegiatan yang Saya upayakan bersama kawan-kawan setia, di tahun kelimanya bisa diliput teman-teman media. Kisahnya dituliskan dari sudut pandang pihak ketiga. Namun, di sisi lain dengan keterbatasan "lahan" penulisan berita, tidak semua hal dapat termuat. Jika di media cetak dahulu dibatasi kolom, maka instagram dan juga website akan membatasi jumlah karakter atau durasi. Maka tentu saja, tidak seluruh hal yang menurut Saya "penting" dapat dituangkan. Kaidah "cover both side" juga mungkin belum tersampaikan sepenuhnya, karena dalam hal ini, "idealnya" menurut saya, masih ada pihak lain yang perlu diwawancara. Isu yang diangkat memiliki banyak aspek dan dapat dilihat dari beragam sudut pandang. Tapi kita tidak bisa memuaskan semua pihak kan? 

Lantas memuaskan siapa? Hal ini juga jamak terjadi dalam pergulatan batin orang-orang yang duduk di pemerintahan. Moralitas dan idealisme toh bukan hanya milik sekelompok orang. Keduanya ada dimana-mana. Meskipun kadang bersembunyi di lubuk hati yang terdalam. Bukan karena tidak pernah diteriakkan dengan lantang, tetapi terus digerus arus deras dan dilindas realita, yang tak pernah sejalan dengan idealisme. 

Lalu dimana moralitas? Bertahan dengan apa yang dianggap benar, meskipun mungkin tak juga bisa dibisikkan. Hanya dilakukan, hari demi hari, ditulis dalam lembar demi lembar dokumen kerja. Menunggu untuk "ditemukan". Menunggu untuk dapat disampaikan dalam rapat kerja. Apa yang sebenarnya terjadi, apa realita di lapangan? Kami masih ada meski senyap. Kaum berseragam dengan idealisme yang dipertahankan oleh selaput moralitas. 

Saya jadi teringat obrolan dengan seorang pengemudi travel yang tiap harinya berjuang mengantarkan orang sampai tepat waktu di bandara. "Kalau orang kantor kan tahu-nya teori, kita yang di jalan yang tahu kondisi lapangan. Mereka mana mau tahu kalau lewat tol dalam kota itu macet. Kalau kita ambil rute yang berbeda dan ada apa-apa, ya kita tanggung jawab sendiri. Kantor gak' mau tahu. Tapi kalau kita lewat jalur yang ditentukan, penumpang jadwal terbangnya mepet, kan complain-nya juga ke kita," ujar dia. Kadang nurani memang tidak sejalan dengan SOP. 

Saya jadi merenung, betapa yang tertulis dalam juknis harus diadaptasi lagi saat diterapkan di lapangan. Terlalu banyak variabel dan cerita di dunia nyata. Tidak seindah angka-angka statistik program yang bisa dirancang "lebih baik" naik atau turun. Angka-angka tidak menceritakan kisah personal. Sementara pekerjaan saya lebih banyak berkutat pada kisah hidup manusia. Everyone matters. No one really matters. Atau Nothing Else Matters nya Metallica?

"Nadira" dan Cerita Lainnya
Novel ini saya selesaikan selama 4 hari. Dari sebuah kamar hotel di Manokwari, di bandara Rendani, dalam penerbangan dari Manokwari ke Sorong, dari Sorong ke Makassar, dari Makassar ke Soekarno-Hatta, hingga perjalanan darat dari bandara terakhir ke rumah. Halaman-halaman terakhir Nadira saya selesaikan di rumah dan menyisakan banyak pertanyaan tentang tokoh-tokoh yang berkaitan dengan Nadira. 

Nadira juga menjebol kembali rasa kehilangan yang pernah hadir tiga tahun silam. Kehilangan yang tiba-tiba. Kemala Suwandi memutuskan mengakhiri hidupnya. Tanpa penjelasan, tanpa kata-kata. Meninggalkan pertanyaan mendasar, "Kenapa?" Pertanyaan sama yang masih sering muncul di kepala. Kenapa dia? Kenapa sekarang? Sementara untuk Nadira yang tak sempat membaca pertanda, "Kenapa Ibu memutuskan mengakhiri semuanya? Kenapa sekarang?" Saya paham betapa butanya kita terhadap orang-orang terdekat, padalah kita mengklaim memahami mereka seutuhnya. Menyakitkan.

Teringat dalam satu sesi saya bersama klien, saat kami membahas tentang "suicidal issue". Ia mengatakan pada saya, "Kalau semua sudah ditulis, bukankah apa yang saya pilih dan lakukan untuk mengakhiri hidup, juga memang sudah tertulis? Saya lelah. Saya hanya ingin bertemu dengan Dia. Dia yang menciptakan Saya. Saya rindu Dia." 

Saya termangu. Saya tidak punya jawaban. Saya hanya membiarkan kalimat-kalimat tadi meresap dalam keheningan. Sebelum Saya mencoba menemaninya kembali ke masa kini dan menengok kembali ke belakang. Menyusun kepingan.  

(akan ada ulasan tentang Nadira as a book or as a novel) 


 

Heartbreak Motel



Penulis: Ika Natassa
Terbit: 2022, cetakan keempat Agustus 2022
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halama: 400 hal

Ava Alessandra, seorang aktris yang sedang berada di puncak karir sedang mengambil rehat setelah menyelesaikan sebuah peran untuk film terbarunya. Ava begitu mencintai pekerjaannya. Dunia akting yang Ia geluti sejak berusia 16 tahun. Masa-masa sulit yang berhasil Ia lalui dengan dukungan almarhumah Ibu. Ava cantik, menarik dan berbakat. Namun totalitas yang membuat Ia berbeda, sehingga Ava hampir selalu mendapatkan tawaran dari sutradara atau produser dalam film yang diproyeksi akan mendapatkan apresiasi yang baik dari penonton.

Ava memiliki ritual tersendiri saat sudah menyelesaikan sebuah peran dalam film yang Ia perankan. Ava akan menyendiri, menginap di hotel favoritnya, sampai Ia merasa cukup, yakni saat Ia telah kembali menjadi Ava Alessandra. Ia sudah keluar karakter dari tokoh yang Ia perankan. Ava memang mempelajari teknik akting dan menggunakan metode yang Ia rasa paling cocok dengan dirinya atau yang paling cocok untuk masuk ke karakter yang Ia perankan.

Dalam kehidupan pribadinya, sebagai Ava, dan bukan aktris yang orang lihat di layar kaca, Ava memiliki pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidupnya. Tentang mengapa dan bagaimana almarhum Ibu menjalani kehidupan yang Ia pilih hingga akhir hayatnya. Juga tentang Bapak. Seseorang yang Ava masih kenali wajahnya, tetapi pergi begitu saja dari kehidupan Ibu dan dirinya. Namun, bertahun-tahun Ibu menerima. Ibu tetap tenang dan rutin berdoa pada Yang Maha Kuasa.

Hingga pada suatu ketika Ava bertemu dengan "pertanyaannya". Ava yang kini memiliki segala sumber daya yang Ia butuhkan untuk mendapatkan jawaban, mengambil risiko yang diperlukan. Ya, Ia memang mendapatkan jawaban.

Di sisi lain, Ava mulai membuka hatinya untuk Raga. Pria yang tak sengaja bertemu dengannya saat Ia menjalani "pengasingan" di hotel favoritnya. Namun, masih ada Reza. Pria yang pernah menjadi kekasih Ava dan memiliki profesi yang sama. Apakah mereka benar-benar sudah "selesai". Ava mencoba menjauh dan menyingkirkan Raga, tetapi justru Raga yang akhirnya membantu Ava menempuh perjalanan ke dalam dirinya, mengenali dan menerima dirinya sendiri.

*Satu yang menggelitik dari karakter Rangga adalah terlalu sempurna dan minim deskripsi latar belakang. Rangga hanya digambarkan sebagai penyelamat Ava. Bukan seseorang dengan masa lalu atau problema.

Juga bisa ditemukan di goodreads.


Gadis Kretek


Gadis Kretek pertama kali diterbitkan Gramedia Pustaka Utama tahun 2012. Saya membaca cetakan keenam yang terbit pada bulan Agustus 2022. Buku ini terdiri dari 274 halaman dengan 15 bagian. 

Dari judulnya, sudah terbayang bahwa kisah ini adalah tentang seorang gadis yang berurusan dengan kretek. Selain menceritakan tentang tata cara pembuatan kretek pada masa silam, yang disebut klobot atau yang menggunakan kulit jagung, serta bagaimana membuat rokok lintingan sendiri atau "linting dewe" (tingwe), Ratih Kumala juga menggambarkan bagaimana membuat kretek dengan cita rasa yang khas. 

Dalam kisah Gadis Kretek, Ratih Kumala juga mengaitkan kehidupan Soeraja dan Dasiyah dengan peristiwa 1965. Kisah tragis yang juga diangkat di beberapa novel terakhir yang saya baca, di antaranya "Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang" dan "Kereta Semar Lembu". Peristiwa besar yang terjadi 20 tahun setelah kemerdekaan, yang menandai lini masa negara ini dengan pembantaian bangsa sendiri, karena perbedaan ideologi. 

Tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita Gadis Kretek ini tidak terlalu banyak, yang akan lebih jelas jika digambarkan dari generasi pertama, yakni dua orang laki-laki dengan ambisi masing-masing pada kretek yang bermula dari Kota M. 

Tokoh utama dalam cerita ini tentu saja "Jeng Yah". Perempuan yang digambarkan memberikan pengaruh besar dalam perkembangan produksi kretek. Sementara Soeraja atau Romo, pria yang di awal cerita digambarkan sedang sekarat, adalah karakter yang unik. Kombinasi pekerja keras yang cerdik di satu sisi, atau bajingan tengik dan oportunis di sisi lain. Ia selalu bisa menghindari bahaya, menghitung risiko dan mengendus laba. 

Tiga generasi yang diceritakan dalam buku ini, terikat satu simpul, yaitu kretek. Kretek yang menghancurkan kehidupan, sekaligus yang melanggengkan kehidupan, meraup keuntungan dan menghasilkan kekayaan yang minimal sudah menghidupi tiga turunan. Novel ini berhasil menampilkan cuplikan budaya dan sejarah dengan bahasa yang ringan. Meskipun di awal saya cukup bingung, akan kah cerita ini disajikan dengan menggunakan rasa bahasa masa silam, atau bahasa kekinian. Saya rasa hal yang berhasil menjembatani dua masa ini adalah penggunaan bahasa Jawa atau dialek Jawa dalam hampir keseluruhan cerita. 

Cinta memang menjadi topik sentral dalam novel ini. Tentu saja cinta Jeng Yah bisa dikatakan menjadi inti dari cerita ini. Namun, saya tidak bisa memastikan cinta Jeng Yah pada Soeraja atau pada kretek racikan tangan dan hatinya. 

Menurut saya buku ini sangat layak ditempatkan di rak buku koleksi kalian semua yang menyukai cerita dengan latar budaya dan sejarah Indonesia. Selamat menikmati kretek!  ehh... selamat menikmati ceritanya..

Review also available in goodreads and IG @dailyteracy.



Delapan Setengah Tahun

Perlu delapan setengah tahun untuk kembali. Tidak pernah meninggalkan buku, tapi memang meninggalkan latihan menulis. Dalam episode kembali, saya menemukan lagi hasrat dan rasa hangat dalam menulis. Bukan berarti bisa dan pandai menulis, tetapi menemukan jalan untuk kembali. Semoga di episode kembali kali ini, semakin banyak buku yang direview dan ada keberanian untuk menulis kesan tentang film yang saya tonton atau musik yang saya nikmati. 

Saya juga dapat ditemukan di goodreads dan instagram @dailyteracy. 

Selamat menemukan dan ditemukan. 



What I Talk About When I Talk About Running

Belum banyak buku Haruki Murakami yang saya baca. Setelah membaca beberapa buku, saya juga belum memutuskan apakah Haruki Murakami adalah pe...