Gadis Kretek


Gadis Kretek pertama kali diterbitkan Gramedia Pustaka Utama tahun 2012. Saya membaca cetakan keenam yang terbit pada bulan Agustus 2022. Buku ini terdiri dari 274 halaman dengan 15 bagian. 

Dari judulnya, sudah terbayang bahwa kisah ini adalah tentang seorang gadis yang berurusan dengan kretek. Selain menceritakan tentang tata cara pembuatan kretek pada masa silam, yang disebut klobot atau yang menggunakan kulit jagung, serta bagaimana membuat rokok lintingan sendiri atau "linting dewe" (tingwe), Ratih Kumala juga menggambarkan bagaimana membuat kretek dengan cita rasa yang khas. 

Dalam kisah Gadis Kretek, Ratih Kumala juga mengaitkan kehidupan Soeraja dan Dasiyah dengan peristiwa 1965. Kisah tragis yang juga diangkat di beberapa novel terakhir yang saya baca, di antaranya "Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang" dan "Kereta Semar Lembu". Peristiwa besar yang terjadi 20 tahun setelah kemerdekaan, yang menandai lini masa negara ini dengan pembantaian bangsa sendiri, karena perbedaan ideologi. 

Tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita Gadis Kretek ini tidak terlalu banyak, yang akan lebih jelas jika digambarkan dari generasi pertama, yakni dua orang laki-laki dengan ambisi masing-masing pada kretek yang bermula dari Kota M. 

Tokoh utama dalam cerita ini tentu saja "Jeng Yah". Perempuan yang digambarkan memberikan pengaruh besar dalam perkembangan produksi kretek. Sementara Soeraja atau Romo, pria yang di awal cerita digambarkan sedang sekarat, adalah karakter yang unik. Kombinasi pekerja keras yang cerdik di satu sisi, atau bajingan tengik dan oportunis di sisi lain. Ia selalu bisa menghindari bahaya, menghitung risiko dan mengendus laba. 

Tiga generasi yang diceritakan dalam buku ini, terikat satu simpul, yaitu kretek. Kretek yang menghancurkan kehidupan, sekaligus yang melanggengkan kehidupan, meraup keuntungan dan menghasilkan kekayaan yang minimal sudah menghidupi tiga turunan. Novel ini berhasil menampilkan cuplikan budaya dan sejarah dengan bahasa yang ringan. Meskipun di awal saya cukup bingung, akan kah cerita ini disajikan dengan menggunakan rasa bahasa masa silam, atau bahasa kekinian. Saya rasa hal yang berhasil menjembatani dua masa ini adalah penggunaan bahasa Jawa atau dialek Jawa dalam hampir keseluruhan cerita. 

Cinta memang menjadi topik sentral dalam novel ini. Tentu saja cinta Jeng Yah bisa dikatakan menjadi inti dari cerita ini. Namun, saya tidak bisa memastikan cinta Jeng Yah pada Soeraja atau pada kretek racikan tangan dan hatinya. 

Menurut saya buku ini sangat layak ditempatkan di rak buku koleksi kalian semua yang menyukai cerita dengan latar budaya dan sejarah Indonesia. Selamat menikmati kretek!  ehh... selamat menikmati ceritanya..

Review also available in goodreads and IG @dailyteracy.



No comments:

Post a Comment

What I Talk About When I Talk About Running

Belum banyak buku Haruki Murakami yang saya baca. Setelah membaca beberapa buku, saya juga belum memutuskan apakah Haruki Murakami adalah pe...