What I Talk About When I Talk About Running



Belum banyak buku Haruki Murakami yang saya baca. Setelah membaca beberapa buku, saya juga belum memutuskan apakah Haruki Murakami adalah penulis favorit saya. Hal yang saya rasakan setelah membaca Norwegian Wood dan 1Q84 adalah sepertinya saya perlu membaca karya-karya lainnya. Saat membaca karya fiksi Murakami yang lain belum terwujud. Saya malah membaca buku yang sudah cukup lama terpajang di rak, "What I Talk About When I Talk About Running." Buku yang pada kesempatan pertama justru tidak saya tamatkan. 

Namun, di kesempatan kedua yang saya miliki (meskipun saya membacanya dari awal lagi), buku ini membawa pengaruh yang cukup baik. Untuk beberapa waktu saya bertahan rutin mengambil waktu untuk jogging, dan hal ini secara nyata berpengaruh pada kewarasan dan keseimbangan hidup saya. Kemarin, saat mengambil kesempatan untuk 5 K pertama saya dan berhasil finish, kata-kata Murakami yang memotivasi saya, meskipun kaki kiri saya terasa sudah hampir kram. Saya hanya memerintahkan otot-otot saya untuk tunduk, untuk patuh. Berlari lebih pelan, tetapi tidak berhenti, serta mengayunkan lengan saya lebih kuat lagi, sehingga memaksa tubuh saya untuk terus bergerak. Sepertinya saya mendapatkan efek "runner's high", dan membuat saya berpikir untuk mengulangi lagi kegilaan ini di lain waktu, dengan persiapan dan pemanasan yang lebih baik tentu saja. Bukan hanya aksi gila-gilaan seperti hari kemarin. Tidak lupa diiringi harmonisasi Foo Fighters di telinga saya. "Wake up... Run for your life with me.." Indahnya langit, jajaran pegunungan dan udara dingin yang menusuk hidung. Saya hanya harus terus berlari. 

Dari buku ini saya juga mendapatkan pelajaran tentang pola bekerja yang baik. Bakat adalah keberuntungan yang kita miliki, tetapi kita tidak akan bertahan dalam satu profesi, hanya karena kita berbakat. Bakat bukanlah bahan bakar yang akan membawa kita sampai ke garis finish, atau ke satu tujuan tertentu yang kita inginkan. Bakat hanyalah privilege, yang memungkinkan kita menciptakan sesuatu atau menjadi ahli. Tanpa konsistensi dan displin, yang mungkin bisa disebut sebagai kerja keras, semua hanya omong kosong. 

Kenapa berlari? Untuk orang-orang dengan pikiran yang "sibuk" berlari seperti memasuki ruang kosong. Mengutip kata-kata Pak Murakami, "Saat aku berlari, aku mengatakan kepada diriku untuk berpikir tentang sungai. Tentang awan. Namun, pada dasarnya aku tidak memikirkan esensi dari keduanya. Aku hanya terus berlari dalam ruang hampaku yang nyaman, dalam kesunyanku yang nostalgik. Bagiku, hal itu sudah cukup menakjubkan. Tak peduli apa pun kata orang." (hal. 29)

Untukku, mungkin aku butuh beberapa variasi olah raga untuk mengatasi rasa "penuh" yang berasal dari emosi atau energi orang lain. Hal-hal yang tidak terungkap dalam percakapan, tetapi tertangkap "radar" dan menginfeksi diri, saat terlambat mempersiapkan gelembung pertahanan. Bisa jadi energi tersebut sebegitu kuat, hingga terus menekan "gelembung" yang sudah kusiapkan. Pada saat itulah aku butuh kesendiran dan berada di "ruang hampa", sembari memaksa tubuhku untuk bergerak, sehinga ada sedikit penderitaan atau rasa sakit yang memanifestasikan dirinya. 

Memang buku ini tentang Pak Murakami, tetapi aku juga menemukan diriku dalam tulisannya. Ada orang-orang yang tidak kesepian dalam kesendiriannya. Mereka memang butuh kesendirian untuk diri sendiri. Melakukan sesuatu untuk menolong dirinya sendiri. Bukan menolong orang lain. Mereka tidak menjalani hidup dalam persaingan dengan orang lain. Dalam kesunyiannya, mereka bersaing dengan dirinya sendiri. Mencari caranya sendiri. "Aku akhirnya mengerti, jika melakuan sesuatu sesuai minat, kecepatan dan caraku sendiri, aku dapat mempelajari pengetahuan dan keterampilan dengan cukup efisien," demikian ujar Murakami (hal.43).

Kadang aku berpikir, apakah aku perlu melakukan lebih banyak? Apakah aku perlu melakukan yang orang-orang lakukan? Untuk masuk dalam kategori atau standar keberhasilan bagi banyak orang. Namun, aku punya standar keberhasilanku sendiri, dan terkadang aku juga tidak tertarik untuk melakukan apa yang orang lain lakukan. Seperti Pak Murakami, aku ingin menemukan caraku sendiri, dan "berlari" dalam standar kecepatanku sendiri. 

Terakhir, tentang kesia-siaan atau kegilaan. Seperti halnya Pak Murakami dan obsesinya pada berlari, marathon, triathlon dan ultra marathon. Masing-masing diri kita mungkin memiliki obsesi dan kegilaannya sendiri. Pada akhirnya, yang penting adalah apa yang dirasakan dalam hati. Kita mungkin perlu beberapa obsesi lain dalam hidup kita, bukan melulu soal pekerjaan. Untuk apa? Mungkin pada akhirnya mereka menjadi sumber energi dan inspirasi untuk kita melakukan hal-hal yang menjadi penopang utama kehidupan kita. 

Terima kasih Pak Murakami!

Ulasan buku ini tersedia juga di instagram @dailyteracy dan goodreads. 

Judul: What I Talk About When I Talk About Running
Penulis: Haruki Murakami
Penerjemah: Ellnovianty Nine Sjarif & A. Fitriyanti
Cetakan Pertama, April 2016
Penerbit: Bentang Pusataka

Daftar Isi: 
Prakata
Bab 1 hingga Bab 3 Tahun 2005 di Kepualaun Hawaii
Bab 4 Tahun 2005 di Tokyo
Bab 5 Tahun 2005, Cambridge, Massachusetts
Bab 6 Tahun 1996 di Danau Saroma, Hokkaido
Bab 7 kembali ke Cambridge, Massachusetts 2005
Bab 8 Perfektur Kanagawa
Bab 9 Kota Murakami, Perfektur Niigata
Penutup
Tentang Penulis

Murakami lahir tahun 1949, saat ini beliau sudah berusia 74 tahun. 

Anne of Green Gables

 


Judul                       : Anne of Green Gables
Penulis                    : Lucy Maud Montgomery
Terbit pertama       : Canada, 1908
Penerbit Lokal       : Gramedia Pustaka Utama, 2018 (cetakan IV, Agustus 2022)

Lesson to Learn
Pelajaran dari Anne of Green Gables adalah "good things do not come so sudden". Awal-awalnya sempat kesal sama Anne, karena bawel banget dan tukang mengkhayal. Tapi kalau diresapi lagi, khayalan yang nyerempet-nyerempet harapan itu, justru yang membuat Anne bisa bertahan dalam kehidupannya, sebelum diadopsi keluarga Cuthbert. 

Bab-bab awal lebih banyak mendeskripsikan bagaimana Anne sampai di Avonlea dan Green Gables. Proses adaptasi yang dialami Marilla dan Matthew pada sosok Anne yang cerewet dan ekspresif. Padahal mereka berdua bertahun-tahun hidup dalam ketenangan dan kesunyian,. Ditambah karakter mereka yang cenderung dingin dan tidak berbunga-bunga. 

Kisah pertemanan dan permusuhan anak-anak di sekolah Avonlea juga diceritakan dengan sangat deskriptif. Mungkin bisa mengingatkan kita soal persahabatan di sekolah. Bagaimana hubungan kita dengan sahabat karib dan musuh abadi. 

Cerita mulai berbelok tajam, setelah Anne pergi melanjutkan sekolah untuk menjadi guru. Anne yang beranjak dewasa mesti membuat keputusan krusial di antara pilihan-pilihan yang berhubungan dengan masa depan. Hal ini juga terkait kelangsungan keluarga Cuthbert dan kecintaan Anne pada Green Gables.

Buku ini mengandung bawang. Jadi, meskipun ceritanya terkesan sederhana, L.M. Montgomery sukses membawa pembaca merefleksikan kembali kekhawatiran, impian, pengharapan, kesedihan, kebahagiaan, ambisi, juga kehilangan. Anne of Green Gables juga mengajarkan cara mencintai tanpa menggurui. Seperti yang dialami Marilla. Selain itu, bagaimana perasaan sayang yang tumbuh, membuat orang yang pendiam dan sangat pemalu seperti Matthew mampu menentang dominasi Marilla. Matthew mau mengorbankan kenyamanannya, agar Anne mendapatkan yang sepantasnya ia peroleh. Meskipun awalnya penuh perjuangan menyelesaikannya, Anne of Green Gables membuat saya tidak sabar melanjutkan membaca Anne of Avonlea.

***

Anne Shirley 

Gadis kurus berambut marah, yang tidak tampak menarik dengan bajunya yang kebesaran dan kusam, mengalami perubahan kehidupan, setelah keluarga Cuthbert memutuskan untuk mengadopsinya. Anne adalah anak yang periang, suka melamun dan mengkhayal, dan senang menggunakan bahasa yang berbunga-bunga. Meskipun cenderung dapat menerima apapun yang hidup tawarkan padanya, Anne juga cukup keras kepala untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Gadis kecil ini memiliki banyak ide untuk menyenangkan dirinya sendiri dengan hal-hal sederhana atau hal positif yang Ia nikmati dari alam. 

Anne yang cenderung spontan dan apa adanya tentu kehidupannya tidak lurus-lurus saja. Hidup di kalangan kaum terpelajar, dengan segala tata krama dan standar kepantasan, membuat Anne cukup sering mendapat celaan atau dianggap membawa pengaruh buruk bagi anak-anak lainnya. Sifat suka melamun dan mengkhayal membuat Anne terkadang lupa mengerjakan perintah-perintah Marilla. Ia juga kerap tidak fokus dalam mengerjakan pekerjaan rumah atau hal-hal membosankan yang menurut Anne tidak memiliki ruang untuk berimajinasi. 

Konflik yang cukup sering terjadi antara Anne dan Marilla Cuthbert, serta didikan Marilla yang cukup keras, sedikit demi sedikit dapat mengurangi kecerobohan Anne. Cap buruk Anne sebagai anak nakal atau anak yang berkelakuan liar juga secara berangsur-angsur hilang, setelah Anne dengan berani menghadapi segala persoalan yang secara tidak langsung ditimbulkannya. Anne juga mendapatkan dukungan penuh dari Marilla, selama apa yang ia lakukan memang benar adanya. 

Keluarga Cuthbert

Matthew dan Marilla adalah kakak beradik keluarga Cuthbert yang sudah cukup lama bermukim di Avonlea. Keduanya berkarakter tenang, tidak banyak bicara dan cenderung dingin. Hingga masa tuanya, keduanya tidak menikah dan tetap tinggal serumah. Matthew yang sudah tidak muda lagi, akhirnya memutuskan untuk mengadopsi anak laki-laki untuk membantunya bekerja di peternakan. Takdir akhirnya mempertemukan mereka dengan Anne, anak perempuan berambut merah yang berhasil membawa kehangatan dan kasih sayang ke dalam rumah mereka. 

Matthew yang sebelumnya sangat pendiam, pemalu dan tidak ekspresif, lambat laun belajar untuk mengungkapkan keinginannya kepada Marilla, atas hal-hal yang berkaitan dengan tumbuh kembang Anne. Selain itu, Matthew secara perlahan dapat mengekspresikan rasa sayang dan kebanggaannya yang tulus kepada Anne Shirley. Anak perempuan yang Ia pertahankan keberadaannya di rumah keluarga Cuthbert. 

"Polisi" Kepatutan

Layaknya kehidupan di kota kecil atau perdesaan, dimana setiap keluarga saling mengenal dan berita apapun gampang tersebar, demikian pula dengan Avonlea. Orang yang paling memperhatikan sesama penduduk Avonlea dan tanpa ragu-ragu mengungkapkan pemikirannya pada orang lain adalah Mrs. Rachel Lynde. Dengan atau tanpa diminta Mrs. Lynde akan mengungkapkan pendapatnya tentang sesuatu. Keputusan Marilla dan Matthew untuk mengadopsi Anne pun  tak luput dari kritik tajam Rachel. 

Hidup di lingkungan dengan pantauan sosial yang ketat, membuat tidak banyak perubahan sosial yang terjadi. Gaya hidup konservatif dipertahankan demi kenyamanaan dan menghindari kebisingan sosial. Kehadiran Anne pada akhirnya cukup memberikan warna dan perubahan di Avonlea. 

Sekolah dan Persahabatan

Marilla dan Matthew yang sudah berkomitmen untuk mengadopsi Anne, mengirim Anne ke sekolah. Awalnya ke sekolah minggu. Reaksi Anne atas sekolah minggu dan keterusterangannya akan sesuatu cukup mengagetkan bagi Marilla. Ia yang cenderung lurus dan mengabaikan pikiran-pikiran kritis atau menghindari memikirkan hal-hal yang tidak sewajarnya dalam komunitas Avonlea. Kehadiran Anne memantik Marilla untuk kembali merasakan sensasi menyenangkan untuk sedikit bandel atau menentang hal-hal yang sudah biasa dilakukan. 

Marilla yang ingin Anne berkembang lebih baik, juga mengirim Anne untuk bersekolah. Dengan karakter Anne yang unik, awal masa sekolah juga menjadi masa yang cukup menantang. Anne terus saja dianggap "membuat masalah". Anne juga kerap menjadi objek ledekan teman-temannya, karena rambutnya yang merah. Di sekolah Anne bersahabat dengan Diana Barry, dan kurang menyenangi Josie Pye yang berlidah tajam. Seperti halnya anak-anak, tentu saja selain persahabatan juga ada permusuhan. Gilbert Blythe menjadi musuh dan rival abadi Anne hingga bertahun-tahun kemudian. 

Ambisi

Anne yang telah beradaptasi dengan kehidupan Avonlea, ternyata mampu berkembang pesat. Ia berhasil menduduki peringkat satu di sekolah dan aktif tampil dalam pertunjukkan. Anne kemudian mengikuti seleksi untuk melanjutkan sekolah ke Queen School selama satu tahun untuk menempuh pendidikan guru. Jika Anne berhasil lulus maka setelah satu tahun, maka ia langsung dapat bekerja sebagai guru. Saat di Queen School ternyata tawaran lainnya datang untuk mendapatkan beasiswa. 

Dalam masa ini, takdir menempatkan Anne di persimpangan. Apa yang Anne pilih? Apa yang menjadi ambisinya? Di sisi lain, apa yang menjadi prioritasnya? 

Selamat menikmati seri kehidupan Anne.. 

NB: Anne of Avonlea terbit dalam seri English Classic dari Gramedia Pustaka Utama, sementara terjemahan kisah ini juga sudah diterbitkan oleh Mizan. Manakah yang jadi pilihanmu?





Prince Edward Island
Kisah Anne seperti yang kita ketahui terjadi di Prince Edward Island, salah satu provinsi di Kanada. Pulau ini dikelilingi laut, dan dari titik manapun pulau ini jarak tempuh ke pantai berkisar 10 hingga 15 menit. Rumah Anne, Green Gables kini menjadi salah satu objek wisata di Prince Edward Island. Mengingat bagaimana Anne mendeskripsikan keindahan tempat tinggalnya, dan bagaimana ia kerap dapat mendengar suara lautan yang merdu, menggugah minat saya untuk suatu saat mengunjungi Prince Edward Island. Ada sebuah situs yang menawarkan paket wisata di pulau ini dengan biaya dalam kirasan puluhan hingga ratusan USD. Jika isi kantong memungkinkan, Kanada bisa jadi pilihan destinasi liburan. 


Second Sister

 Second Sister (Putri Kedua)



Judul       : Second Sister 
Penulis    : Chan Ho-Kei
Penerbit  : Gramedia Pustaka Utama, 2021

Second Sister adalah buku pertama Chan Ho-Kei yang saya baca. Buku ini sukses memberikan deskripsi kehidupan di Hongkong yang keras dan tanpa ampun. Tokoh dalam cerita ini menurut saya adalah Nga-Yee dan N. Setelah petaka Siu-Man bunuh diri dari jendela lantai dua puluh, Chan Ho-Kei dengan sabar merajut cerita ke masa lampau, sehingga pembaca dapat lebih jauh mengenal keluarga Siu-Man dan Nga-Yee. Mereka adalah dua gadis dari keluarga Au. Ayah dan ibu Au Fai (ayah Nga-Yee) adalah pengungsi asal Guangzhou yang melarikan diri ke koloni Inggris tahun 1964. Kebakaran yang terjadi tahun 1976 menewaskan kedua orang tua Au Fai. Sejak itu ia dipungut oleh seorang tetangga yang juga kehilangan istrinya dalam peristiwa kebakaran. Tetangga ini memiliki anak perempuan bernama Chau Yee-Chin, yang kelak menjadi ibu dari Nga-Yee. 

Awal kisah Second Sister menceritakan kehidupan keluarga Au Fai dan Chau Yee-Chin serta bagaimana mereka membesarkan anak-anak mereka. Jalan takdir tampaknya hanya sedikit memberikan kemudahan bagi keluarga Au Fai. Hingga kedua orang tua Nga-Yee dan Siu-Man tiada, tanpa berhasil menaikkan taraf hidup mereka ke level yang lebih baik. Kini tinggal Nga-Yee yang bekerja seorang diri untuk menghidupi dirinya dan adiknya. Sampai di suatu sore sekitar pukul 6 Nga-Yee yang sedang berjalan pulang selepas bekerja dan sedang memikirkan hidangan makan malam, diusik lamunannya oleh suara sirine yang meraung-raung dari arah apartemen ia tinggal. 

Setelah semakin dekat dengan lokasi aparatemennya, kenyataan pahit kembali menghantam kehidupan Nga-Yee tanpa ampun. Siu-Man adik satu-satunya dikatakan polisi bunuh diri. Cukup lama Nga-Yee memproses dan menerima informasi ini. Hingga akhirnya dengan mengumpulkan semua uang yang tersisa, ia memberanikan diri mendatangi N. 

Nga-Yee mendatangi N setelah mendapat referensi dari detektif konvensional yang tidak mampu memecahkan kasus Siu-Man. N adalah tokoh eksentrik, dengan kehidupan tertutup dan kerap makan bakmi di toko langganannya. Belakangan Siu-Man baru mengetahui bahwa N tidak seperti kelihatannya. Keahliannya dalam meretas dan melakukan penyelidikan dengan cara-cara progresif, membuat N menjadi tokoh berbahaya yang ditakuti gangster, sekaligus dicari oleh mereka yang mengharapkan adanya keadilan. Salah satu orang dalam antrean klien N adalah Nga-Yee. 

Chan Ho-Kei adalah seorang jenius yang mampu membangun dunia khayalan nyaris sempurna dengan keterkaitan antar tokoh yang tidak biasa. Penyebab Siu-Man bunuh diri pun memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Karakter tokoh N yang sangat unik juga menjadi daya tarik sendiri bagi cerita ini. 

Buku dengan 10 bab dan 632 halaman ini layak untuk dibaca ulang dan tampaknya tidak akan membosankan. Siapakah pelaku pelecehan seksual sebenarnya? Bagaimana N dapat menyelesaikan beberapa masalah sekaligus? Apakah Nga-Yee berhasil memenuhi janjinya pada Siu-Man? Merupakan pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab dalam bab demi bab yang disusun Chan Ho-Kei. 

Pesan yang dapat diambil dari buku ini menurut saya adalah jangan pernah menyepelekan perundungan. Selain itu, perundungan tidak melulu dilakukan secara langsung atau melibatkan kekerasan fisik. Kekerasan verbal melalui media sosial adalah juga bentuk perundungan. Remaja menjadi lebih berisiko, karena keraguannya bercerita atau keinginan memecahkan masalah sendiri tanpa bantuan orang lain. Saat tekanan sudah dirasa demikian besar dan tak ada jalan keluar, pilihan fatal akhirnya diambil. Demikianlah yang terjadi pada Siu-Man. Apalagi pelecehan seksual bukan hal yang nyaman untuk dibicarakan secara terbuka. Kompleksitas perasaan yang dialami korban dan ketakutan tidak dipercaya atau bahkan diolok-olok sebagai pemicu terjadinya pelecehan itu sendiri adalah penderitaan yang nyaris tak tertahankan.   

Second Sister mungkin bukan bacaan yang ramah bagi semua orang. Perlu ada trigger warning, terutama bagi penyintas perundungan, pelecehan seksual dan bunuh diri. Chan Ho-Kei sukses membangun dunia nan gelap dan suram, yang mungkin tidak cocok untuk dimasuki semua orang. Gambaran dunia yang sempurna saat kita kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa, serta bagaimana kita berupaya mencari jawaban atas kematian orang yang kita cintai. 





The Good Earth (Bumi yang Subur)

The Good Earth


Pengarang    : Pearl S. Buck, 1932
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama, 2008
Edisi              : Cetakan Kelima Oktober 2008

Latar Cerita
Meski kisah Good Earth berfokus pada keluarga petani Wang, Buck juga membahas secara umum tentang perubahan yang terjadi di Cina, pemberontakan atau kerusuhan yang berakhir dengan penyerangan terhadap keluarga-keluarga kaya oleh rakyat jelata, yang disebabkan kesenjangan sosial yang sudah terlalu jauh. Dalam tulisan sejarah, era ini berlangsung pada tahun 1911 hinga 1912 dimana  mulai muncul organisasi-organisasi yang ingin menggulingkan kekuasan Dinasti Manchu. Tokoh yang berperan dalam revolusi ini sebagaimana yang pernah dipelajari dalam sejarah di bangku sekolah adalah Sun Yat Sen. 

Wang Lung Si Petani
Good Earth adalah seri pertama dari Trilogi yang ditulis Pearl S. Buck. Dalam buku pertama kisah yang ditulis Buck sebagian besar berdasarkan sudut pandang Wang Lung si petani, yang juga merupakan anak seorang petani. Wang Lung yang telah cukup umur dan memiliki sedikit harta kemudian meminta istri, seorang budak dari keluarga Hwang, yang bernama O-Lan. Pernikahan keduanya dijalani secara mekanis dan praktis, tanpa banyak rasa, tanpa ada cinta. Hanya menjalani kehidupan selayaknya atau seperti yang orang kebanyakan lakukan. 

Wang Lung adalah orang yang cukup beruntung, dengan modal tanah yang diwarisi dari ayahnya, ditambah tekad baja dan keberuntungan, akhirnya Ia berhasil menjadi orang terpandang, bahkan posisinya kelak sejajar dengan keluarga Hwang. Kemiskinan telah menguji Wang Lung dan ia lulus dengan baik. Namun, kekayaan mengubah kehidupan dan kebiasaan Wang Lung, meskipun masih tersisa kelembutan hati dan kebaikan dibalik kebiasaannya meledak-ledak. 


O-Lan yang Tak Pernah Jadi Nyonya Besar
Kalau ada ungkapan bahwa di belakang pria yang sukses selalu ada wanita tangguh yang membersamai dan mendukung. Demikian pula dengan kisah Wang Lung. Walaupun pada masa itu perempuan adalah warga negara kelas dua dan tidak masuk dalam silsilah keluarga.

Kehidupan Wang Lung awalnya penuh dengan penderitaan. Di tengah kelaparan yang melanda, hingga upaya keluarga Wang mengungsi ke selatan, O-Lan selalu ada. Meski Ia seakan bisu dan hanya berbicara yang penting-penting saja, O-Lan justru bisa berbicara tegas dan menentukan arah kehidupan keluarga Wang Lung, saat suaminya dilanda kebingungan dan krisis kepercayaan diri. 

O-Lan adalah figur sempurna, contoh istri yang berbakti pada suami, anak-anak, bahkan keluarga besar suaminya. Namun saat semuanya sepertinya sudah bisa berbahagia, justru O-Lan yang menderita sendirian. Kebanggaannya hanyalah bisa melahirkan anak laki-laki penerus keluarga Wang. Namun, hal itu juga tak bisa menjadikan dirinya selayaknya Nyonya di rumahnya sendiri. O-Lan bukan perempuan yang termasuk kategori cantik dalam budaya Cina saat itu. Keterampilan dan kemampuannya memanfaatkan semua sumber daya yang ada demi keluarga, juga bukan hal yang masuk perhitungan agar O-Lan dihargai secara semestinya. 

Karakter O-Lan bisa membuat kita menangis sendirian, dan setidaknya mensyukuri bahwa kita tidak hidup di jaman O-Lan, dimana perempuan hanya dipandang dari kecantikan dan kemampuannya melahirkan anak laki-laki. 


Tradisi Mengikat Kaki 
Kriteria kecantikan yang identik dengan rasa sakit atau penyiksaan, seperti demi memiliki kaki yang mungil, anak perempuan haruslah diikat kakinya supaya tidak tumbuh besar. O-Lan tidak melakukan hal demikian, orang tuanya tidak mengikat kakinya, dan Ia memiliki status sosial yang rendah. Namun beruntung baginya, dengan kondisi kakinya yang normal, ia justru menjadi penyelamat keluarga, karena masih bisa berdiri, berjalan dengan normal, dan merawat anak-anaknya dengan baik. O-Lan juga masih bisa membantu Wang Lung bekerja di ladang. Meski hal ini tidak membuat Wang Lung berhenti mengeluhkan istrinya yang tidak cantik dan kakinya yang besar. 

Tradisi mengikat kaki pada perempuan Cina yang menandai status kaum elite dimulai sejak zaman Dinasti Tang 618 M dan terus diturunkan dari generasi ke generasi dan akhirnya menjadi standar kecantikan universal. Kondisi kaki yang kecil menyebabkan wanita Cina pada masa lampau memiliki keterbatasan untuk bergerak, seperti berdiri dan berjalan. Dengan demikian, kehidupan mereka sangat bergantung pada kaum laki-laki dan hal ini tentu melanggengkan sistem patriaki. Selain itu, praktik ini juga menimbulkan permasalahan kesehatan serius pada wanita-wanita Cina. 

Praktik mengikat kaki mulai dilarang sejak tahun 1912, tetapi masih terus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tahun 1949, ketika partai komunis mengalih alih kekuasaan, prakitik ini benar-benar berakhir. 


Kelaparan
Indonesia hanya mengenal dua musim, yakni kemarau dan penghujan. Meski berita mengabarkan sawah-sawah petani terendam banjir dan berisiko gagal panen, atau kemarau berkepanjangan yang menyebabkan beberapa daerah dilanda kekeringan, sungguh beruntung kita hampir tidak pernah mengalami bencana kelaparan. 

Wang Lung Si Petani mengenal empat musim. Oleh karena itu, Ia harus pandai membaca tanda-tanda dan menghitung benar waktu yang tepat untuk menanam, sehingga tidak mengalami gagal panen karena kekeringan, banjir, atau musim dingin berkepanjangan. Namun, kehendak alam tak selalu dapat diprediksi dan dilawan. Suatu masa Wang Lung dan keluarganya mengalami masa sulit yang cukup panjang. Segala yang bisa dijadikan bahan makanan sudah dimanfaatkan, mulai dari aneka daging hewan, kulit pohon, hingga makan tanah agar bisa bertahan. Hingga akhirnya daya hidup memudar dari keluarga Wang Lung. Mereka sudah tidak bisa lagi merasakan lapar. Jika ada makanan, mereka harus memakan dan mencernanya sedikit demi sedikir. 

Di tengah krisis ini, Wang Lung memutuskan untuk mengungsi ke daerah Selatan. Tidak dijelaskan benar oleh Buck, daerah asal Wang Lung dan arah selatan yang dituju. Namun, dari kota di Selatan inilah sepertinya revolusi Cina/Tiongkok dimulai. Selain Misionaris yang mulai mengenalkan konsep Jesus Sang Juru Selamat dengan membagi-bagikan pamflet, kaum komunis juga memulai kampanye yang mengenalkan rakyat soal pemerataan. Bahwa kemiskinan rakyat jelata adalah karena kesalahan kaum kaya yang tamak dan serakah. Oleh karena itu, kaum miskin harus merebut apa yang menjadi hak mereka. 

Malang Wang Lung yang tidak mengenal huruf dan hanya memahami kehidupan adalah hasil dari tanahnya, konsep yang ditawarkan kaum komunis tidak dapat diterima Wang Lung. Akhirnya, Ia hanya mengambil sedikit keuntungan dari kerusuhan yang terjadi di Kota Selatan itu, dan segera kembali ke desanya. 


Konsep Spiritual  
Wang Lung tidak mengenal Tuhan, sebagaimana agama samawi mengenal konsep Tuhan. Wang Lung menyembah dewa-dewi dan karena Ia adalah petani, maka Ia menyembah Dewa Ladang. Agar hasil pertaniannya baik, secara berkala tak lupa Wang Lung membeli dan membakar dupa, serta mengganti baju dewa-dewi yang ada di dalam tempat pemujaan, tak jauh dari ladangnya. 

Kelaparan dan kesulitan yang dialamiya membuat Wang Lung marah pada Dewa Ladang. Ia pun akhirnya mengabaikan mereka, apalagi setelah tanpa pemujaan pun Ia bisa menjadi petani yang kaya raya. Wang Lung kembali pada dewa-dewinya saat cucu pertamanya akan lahir. Ia yang merasa gamang akhirnya pergi ke kuil untuk mengantarkan sesembahan pada Dewi Kerahiman dan berharap cucu yang akan lahir itu adalah laki-laki. Kali ini doa Wang Lung mengandung ancaman dan tawar-menawar. Jika segala sesuatu sesuai keinginannya, maka Ia menjanjikan sesembahan lain, jika tidak maka Ia tidak akan kembali dan mengantarkan apapun lagi. 


Candu 
Nyonya Besar Keluarga Hwang adalah tokoh pertama yang diperkenalkan penulis sebagai pecandu. Dalam hal ini Nyonya Besar benar-benar menghisap candu atau opium. Bangsa Cina sebenarnya sudah mengenal candu sejak abad ke-16. Namun, Dinasti Qing melarang penghisapan candu sejak 1729, karena efeknya yang merusak. Candu kembali marak di Cina setelah Perang Candu I dan II dan dibawa oleh bangsa Eropa. Pada masa ini pihak barat terus melakukan ekspansi dagang ke Cina, dan membuka akses orang asing ke pedalaman Cina. Sebelumnya, Cina sangat menutup diri dari bangsa asing.

Kembali ke masa Nyonya Besar Hwang menghisap candu. Saat itu candu adalah barang mahal dan tentu belum dikenal perihal masalah ketergantungan zat atau adiksi. Seperti halnya kecanduan opioid atau yang beberapa dasawarsa kemudian dikenal dengan heroin atau putaw, kebiasaan menghisap candu Nyonya besar juga menjadi hal yang problematik. 

Perlahan-lahan kekuasaan dan pengaruh keluarga Hwang surut, setelah sepetak demi sepetak tanah milik keluarga dijual untuk memenuhi kebutuhan Nyonya Besar akan candu dan uang perak dan emas dihamburkan Tuan Besar untuk para selirnya. Nyonya Besar menutup mata. Silakan semua berbuat sesukanya, yang dipedulikan dirinya hanya duduk di singgasananya dengan pipa terisi penuh candu, hingga Ia tak sadarkan diri, melupakan dunia, dan jatuh tertidur. Lama-kelamaan kesehatannya semakin menurun. Berat badannya menyusut. Tapi apa peduli. 

Perilaku Nyonya Besar ini akhirnya juga mengilhami Wang Lung untuk "membereskan" permasalahan rumah tangganya. Membunuh atau meracuni mungkin terlalu keji, tapi membuat orang kecanduan bisa jadi solusi. Demikianlah pertimbangan Wang Lung. 


Tentang "Bumi yang Subur"
Buku ini sudah tahunan mengisi rak buku. Namun bukan buku milik saya. Mungkin karena itu butuh waktu lama untuk saya mengumpulkan niat membaca. Begitu mulai membaca, ternyata memang page-turner. Total 34 bagian dalam 507 halaman saya tamatkan dalam waktu kurang dari satu minggu. 

Layak dibaca dan jadi  koleksi. Karya yang bisa membawa kita merasakan kerasnya kehidupan Wang Lungs Si Petani dan kepahitan O-Lan, budak perempuan yang tak banyak bicara dan senantiasa menerima apapun yang dilemparkan kehidupan kepadanya. Selain itu, cukup dapat menggambarkan dinamika kehidupan di Tiongkok pada masa lalu. 

Sayangnya, penulis masih sangat berfokus pada Wang Lung dan sifatnya yang egosentris. Akhirnya tidak ada yang lebih penting dari diri dan kebutuhannya sendiri. Hal ini menyebabkan deskripsi tokoh lainnya, kecuali O-Lan menjadi agak kabur. Hal ini mungkin karena segala sesuatunya hanya dilihat dari kaca mata Wang Lung seorang. Semoga di buku kedua dan ketiga bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Menurut banyak ulasan, buku ketiga dari trilogi ini adalah penutup yang cukup baik. 

Trilogi The Good Earth karya Pearl S. Buck: 
  1. Bumi yang Subur
  2. Wang si Macan
  3. Runtuhnya Dinasti Wang

Kembali ke Masa Kini
Membaca The Good Earth membawa saya  pada bayangan akan bencana kelaparan dan ketidaksetaraan gender yang demikian merugikan perempuan. Dari jeda ke jeda membaca, saya bisa mensyukuri apa yang tersedia di meja makan. Tidak pernah kita sampai harus mengunyah tanah untuk bisa bertahan hidup. 

Demikian juga urusan kecantikan dan standarnya yang tidak masuk akal. Syukurlah mengikat kaki supaya tetap kecil, sehingga dikatakan indah dan cantik, sudah menjadi praktik yang dilarang. Meski perempuan masa kini tetap ahli menyiksa diri sendiri, dengan menggunakan stiletto yang haknya menghujam tanah dan membuat posisi kaki saat berdiri menjadi luar biasa tidak nyaman. Standar lainnya adalah memutihkan kulit wajah dengan berbagai cara yang menyisakan flek hitam saat penggunaan skin care dihentikan, atau kulit wajah bak kepiting rebus saat dijemur di bawah matahari dan bekeringat setelah berolahraga. 

Setidaknya kita sekarang bisa memilih. Kebebasan berpikir, berpendapat dan mengunggahnya ke sosial media juga membantu perempuan yang mau menyadari keotentikan dirinya untuk memilih kehidupan seperti apa yang Ia jalani. Hidup untuk dirinya sendiri dan melaksanakan peran dalam kehidupan sebaik-baiknya, atau sibuk mengikuti standar kecantikan yang katanya universal. 

Sumber Pustaka Lainnya: 
National Geographic Indonesia
https://wawasansejarah.com/perang-candu-di-cina/ 

Laut Bercerita


Judul             : Laut Bercerita
Penulis          : Leila S. Chudori
Terbit            : Oktober, 2017
In my hand   : Cetakan ke-41, Juni 2022
Penerbit        : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia
Genre            : Historical Fiction

Sudah sering kali saya melihat buku ini tersusun di rak toko buku. Namun, tahun-tahun sebelumnya Saya belum tergerak untuk mengenal tulisan Mbak Leila lebih jauh. Laut Bercerita menjadi buku pertama Mbak Leila yang saya cicipi. Sesuai ekspektasi saya, buku ini tidak bisa dikatakan ringan. Namun, bahasan tentang sejarah selalu menarik, meskipun dicampurkan dengan cerita fiksi. Dua tahun penting dalam linimasa Indonesia Merdeka yang sekarang banyak diceritakan kembali dalam buku-buku fiksi, 1965 dan 1998. Dalam kurun waktu yang berdekatan saya membaca Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang, Kereta Semar Lembu, Gadis Kretek, dan Laut Bercerita. Setidaknya empat buku ini sedikit membahas tragedi 1965, yang pada rezim sebelumnya rakyat hanya dicekoki satu versi. Hitam dan Putih. Dampaknya sangat memilukan, seperti pembenaran untuk "menghilangkan" mereka yang dianggap berbeda. Semua yang berbeda harus ditumpas. Maka, terjadilah pembantaian dimana-mana. 

Dalam "Laut Bercerita" saya yang pada saat 1998 masih menggunakan seragam putih biru, tentu belum memahami apa yang sebenarnya terjadi, dan berapa lama "persiapan" menuju 1998. Apa yang terjadi di Jakarta hanya bisa dipantau di televisi, kerusuhan, pembakaran, penembakan, pendudukan gedung DPR/MPR, dan mundurnya "Bapak Pembangunan" yang berkuasa 32 tahun lamanya. Belakangan di televisi ramai diberitakan soal "orang hilang". Selain mahasiswa korban penembakan oknum bersenjata yang meninggal dunia, ternyata banyak aktivis yang tidak pernah pulang. Hingga kini keberadaan mereka masih menjadi tanda tanya. Mungkin para keluarga korban sudah tidak berharap mereka kembali, tetapi untuk mengetahui di mana letak terakhir jasad para korban pun, tak pernah ada jawaban. 

Bertahun-tahun penjelasan tentang tragedi 1965 yang dipublikasikan secara resmi adalah versi penguasa. Belakangan saya menemukan buku tak bersampul yang nyaris tak berjudul dan menceritakan "kisah lain" di balik 1965. Meskipun hingga saat ini apa yang sebenarnya terjadi juga tak kunjung memiliki jawaban pasti. Setidaknya hipotesis dan pembahasan dalam buku-buku dalam versi bebas, bergantung sudut pandang penulis bukan menjadi hal yang diharamkan lagi. Tidak pernah ada satu versi. 

Laut Bercerita adalah kisah hidup Biru Laut, seorang mahasiswa, seorang aktivis, seorang anak, seorang kakak, seorang kekasih, seorang teman dan sahabat bagi yang mengenalnya. Di sisi lain Ia adalah tokoh berbahaya, oposisi pemerintah, target operasi. Seseorang yang dirindukan pulang ke rumah. Seseorang yang sebaiknya dibungkam dan "dihilangkan" dari catatan manapun. 

Hal yang saya suka dari karya Leila S. Chudori adalah ilustrasi, seni yang membantu pembaca lebih menghayati tokoh atau menguatkan kisah yang ditulis Mba Leila. Kisah Biru Laut dimulai tahun 1991 dengan latar kehidupan mahasiswa di Yogyakarta. Bagaimana aktivitas mereka di kampus, hingga akhirnya harus beraktivitas dan memiliki basecamp di luar kampus agar cita-cita perjuangan dan pergerakan nyata mereka tetap berada di luar radar rezim, yang mampu bertindak represif dengan alasan "pertahanan dan keamanan negara". Subersif adalah kata yang lazim disematkan pada mereka yang tindakannya dianggap membahayakan. 

Kisah laut bergerak ke tahun 1993, dari satu gerakan ke gerakan lain. Hingga tahun 1996 perjuangan akhirnya harus dilanjutkan di Jakarta dengan risiko DO dari bangku kuliah sebagai risikonya. Namun, pindah ke Jakarta juga berarti menyatukan kekuatan untuk mencapai tujuan perjuangan. Setidaknya pertama-tama menumbangkan rezim yang saat itu sedang berkuasa. Tahun 1998 bisa dikatakan menjadi titik didih. Rezim yang semakin terancam bertindak semakin represif. Layaknya setiap kisah perjuangan, tentu ada pengkhianatan. Hal ini pun tak luput dari rajutan cerita Mba Leila. 

Secara umum Laut Bercerita terdiri dari dua bagian. Biru Laut yaitu bagian yang menceritakan sudut pandang Laut. Bagian II Asmara Jati, yang banyak menceritakan tentang kehilangan dari sudut pandang adik Laut, Mara dan kedua orang tua Laut. Mereka yang paling gigih memperjuangkan perubahan, justru adalah mereka yang menghembuskan nafas terakhir, bahkan sebelum reformasi dikumandangkan. Mereka yang hidup dengan idealisme, disiksa karena idealisme, dan mati membawa idealisme. Sementara yang tersisa adalah tanda tanya. Pengkritik penguasa kini sudah menjadi penguasa. 

Keberanian dan kegigihan Laut mungkin mengobarkan kembali idealisme, cita-cita dan semangat. Namun di sisi lain juga menciutkan nyali. Akankah ada yang sekuat Laut? Sanggupkah ada keluarga lain yang menanggung kehilangan sebegitu rupa. Masih tanpa kepastian. Masih penuh tanda tanya. Mungkin pertanyaan itu pun akan dibawa hingga ke dimensi yang berbeda. 

Matilah engkau mati
Kau akan lahir bekali-kali...

Kalau umur kalian sudah 18 tahun, Laut Bercerita adalah salah satu karya sastra yang perlu kalian baca. Tidak ringan, tapi dari buku ini kita akan menikmati kisah yang "berisi". Membaca kisah perjuangan dari sisi yang lain. Bahwa yang berjuang belum tentu dinamai pahlawan, dan bahwa pahlawan mungkin saja bukan orang yang senyatanya berjuang. Sejarah adalah masalah sudut pandang. Tidak ada ruginya menggunakan "kaca mata" lain atau melihat dari sudut pandang yang lain. 


The Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde



Karya Robert Louis Stevenson ini diterbitkan pertama kali tahun 1886. Di Indonesia yang karya ini kemudian diterbitkan dalam seri English Classics oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2018. Novel yang terdiri dari 120 halaman ini memiliki 10 bagian, yaitu: 
  1. Story of the Door
  2. Search of Mr. Hyde 
  3. Dr. Jekyll was Quite at Ease
  4. The Carew Murder Case
  5. Incident of the Letter
  6. Incident of Dr. Lanyon
  7. Incident at the Window
  8. The Last Night
  9. Dr. Lanyon's Narrative
  10. Henry Jekyll's Full Statement of the Case

Dr. Jekyll digambarkan sebagai tokoh terpandang di masyarakat dengan reputasi yang baik, dan berteman baik dengan Mr. Utterson seorang pengacara yang sedang menyelidiki beberapa kasus pembunuhan yang terjadi di London. Penyelidikan Mr. Utterson atas kasus-kasus yang terjadi mulai mengarah pada seseorang bernama Edward Hyde.

Untuk penyuka genre horor gotik dan yang senang membaca hal-hal berbau psikologi, kasus Dr. Jekyll dan Mr. Hyde sepertinya bisa menjadi salah satu bacaan wajib. Selain itu kisah ini juga memunculkan pertanyaan baru, apakah transformasi dr. Jekyll memang betul-betul dipengaruhi ramuan kimia ciptaannya, atau kah ia memang cenderung memiliki dua kepribadian yang berbeda? Multiple personality, split personality? Mengingat karya ini terbit di akhir abad ke-19, perkembangan ilmu psikologi tentu belum sepesat setelah Sigmund Freud mempublikasikan Teori Psikoanalisa-nya atau Psikologi  Abnormal sudah mulai menyusun klasifikasi gangguan yang mungkin dialami manusia. 

Secara filsafat, karya ini mengajak kita merenung bahwa setiap orang mungkin memiliki berbagai sisi yang berbeda. Gelap, terang, dan mungkin abu-abu atau warna-warna lainnya. Apa yang ditampakkan di lingkungan masyarakat, mungkin bukan diri kita sebenarnya. Seperti yang coba disampaikan oleh penulis, bahwa manusia sebagaimana kita bertemu dengan mereka, adalah percampuran dari kebaikan dan kejahatan.

Know yourself, know your impulse, know your dark side...





 

Robinson Crusoe

 The Life and Adventures of Robinson Crusoe



The Life and Adventures of Robinson Crusoe diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2018 dalam kumpulan English Classics. Buku ini terdiri dari 20 chapter dan 424 halaman. Karya ini terbit pertama kali pada 25 April 1719. Cukup menantang untuk membaca dan menyelesaikan buku ini, karena kata-kata yang digunakan cenderung jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Bagian terpanjang dalam buku ini adalah saat mengisahkan tokoh Crusoe yang terdampar di pulau tak berpenghuni dan bagaimana Ia bertahan hidup. Crusoe yang hidup sendirian dan nyaris tanpa harapan ditemukan bertahun-tahun lamanya juga memunculkan tema spiritualitas. Bagaimana Crusoe tetap "berbicara" kepada Tuhannya. Ia juga bertarung melawan ketakutan, keputusasaan dan kesepian. 

Robinson Crusoe dikisahkan lahir dari keluarga terpandang pada tahun 1632 di York. Ia memiliki pikiran liar dan keinginan yang kuat untuk pergi dari rumah dan bertualang. Hingga akhirnya saat Ia berlayar dan terperangkap badai yang menghancurkan kapal, perahu kecilnya, dan menghempaskan Crusoe ke sebuah pulau kecil. Hanya Ia yang selamat dari badai. Terdampar, sendirian, tanpa perlengkapan yang memadai untuk bertahan hidup. 

Keinginan untuk tidak kehilangan orientasi akan waktu membuat Crusoe mencoba mencatat hari saat ia mulai terdampar, yaitu 30 September 1659. Petualangannya di pulau dimulai saat ia berusia 27 tahun. Agar dapat bertahan hidup Crusoe mengerahkan segala daya upaya dan memanfaatkan sumber daya yang ada di pulau. Ia menerapkan pengetahuannya yang berasal dari peradaban masa kini hingga ia memiliki tempat perlindungan dan ketersediaan pangan yang mencukupi untuk dirinya sendiri. Setelah menjelajah ke seluruh penjuru pulau, ia akhirnya mengetahui ada bahaya lain yang mengintai, dan perlu meningkatkan keamanan dirinya. 

Crusoe akhirnya bisa meninggalkan pulau "miliknya" pada tanggal 19 Desember 1686, 28 tahun, 10 bulan, 19 hari setelah ia terdampar. Ia tiba kembali di Inggris pada tanggal 11 Juni 1687, setelah 35 tahun tidak pulang ke rumah. 

Robinson Crusoe menurut saya bukan cerita yang dimaksudkan untuk menceritakan perjalanan kembali, tetapi bagaimana bertahan dalam kehidupan yang nyaris tanpa harapan. Pengarang tidak terburu-buru menuliskan keajaiban dimana Crusoe ditemukan atau diselamatkan, tetapi bagaimana seseorang bertahan dalam hari-hari tanpa harapan dan kepastian nyaris selama 29 tahun.

Siapa Sebenarnya Robinson Crusoe?

Kisah Robinson Crusoe mungkin diilhami oleh kisah kelasi Skotlandia, Alexander Selkirk. Ia terdampar dan bertahan hidup di sebuah pulau di Samudra Pasifik, yang berada jauh dari pantai Chili pada tahun 1704. Alexander menghabiskan waktu empat tahun dan empat bulan di pantai tersebut, sebelum ditemukan oleh dua kapal Inggris yang berhenti untuk mengambil air bersih dan kayu. 

Para sejarawan telah lama mengetahui "Pulau Robinson Crusoe" adalah pulau dimana Selkrik terdampar. Namun lokasi rumahnya masih tidak diketahui. Pernah ada orang yang melihat reruntuhan batu di ujung jalan setapak yang terbengkalai.

Pada bulan Januari 2005, Takahashi dan tim yang didanai National Geographic Society mulai menggali situs dan menemukan ujung jangka navigasi yang berbahan perunggu, dan diduga hampir pasti milik Alexander Selkirk. 

(National Geographic Indonesia, Oktober 2005)

Tentang Pengarang

Daniel Defoe adalah seorang penulis Inggris yang juga berprofesi sebagai penulis, pedagang, jurnalis. penyebar pamflet (yang pada saat itu digunakan untuk menyebarkan suatu ideologi), dan seorang mata-mata. Ia lahir di London tahun 1660 dan wafat pada 24 April 1731. Karyanya yang terkenal adalah Robinson Crusoe. Karya lainnya dari Defoe adalah sebagai berikut: 

  • The Farther Adventures of Robinson Crusoe
  • Captain Singleton (1720)
  • Mamoirs of Cavalier (1720)
  • A Journal of the Plague Year (1722)
  • Colonel Jack (1722)
  • Moll Flander (1722)
  • Roxana: The Fortunate Mistress (1724)
Temukan juga review Robinson Crusoe di goodreads.






The Secret Garden

The Secret Garden karya Frances Hodgson Burnett terbit pertama kali pada tahun 1911. Gramedia Pustaka Utama kemudian menerbitkan seri English Classics dalam versi Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. The Secret Garden berbahasa Inggris terbit pada tahun 2018.

Buku ini terdiri dari 344 halaman dan 27 bagian. Cerita dimulai dengan wabah kolera yang terjadi di India dan menewaskan kedua orang tua Mary Lennox. Mary kemudian dibawa kembali ke Inggris untuk tinggal dengan pamannya Mr. Archibald Craven di Misselthwaite Manor. 

Mary digambarkan sebagai anak yang tidak menyenangkan dan tidak memiliki keterampilan apapun, termasuk mengurus dirinya sendiri. Setelah pindah ke Inggris dan tinggal di kediaman keluarga Craven, babak baru kehidupan Mary dimulai. Ia bertemu dengan Martha, pelayan yang kira-kira seusia dengannya dan tinggal di pedesaan tidak jauh dari Misselthwaite Manor. Martha mempunyai saudara laki-laki bernama Dickon, yang akhirnya menjadi teman Mary. 

Belakangan Mary baru mengetahui bahwa di kediamannya saat ini ada anak laki-laki yang usianya tidak terpaut jauh dengannya. Anak laki-laki tersebut sangat pucat dan tampaknya tidak tumbuh dengan wajar. Colin Craven, dia adalah anak tunggal dari Mr. Craven dan mendiang istrinya. Artinya Colin adalah sepupu Mary. 

Tiga serangkai, Mary, Dickon dan Colin memulai petualangan mereka di taman rahasia yang dahulu adalah taman kesayangan almarhumah Ibu Colin. Taman ini menjadi salah satu sumber keajaiban yang mendorong perubahan muncunya perubahan kehidupan Mary dan Colin. Perubahan ini membawa kebahagiaan bagi seluruh penghuni Misselthwaite Manor dan berhasil membawa Mr. Archibald Craven kembali pulang dan berkumpul dengan Colin dan Mary seperti layaknya sebuah keluarga. 

Cerita ini cukup sederhana, tetapi memilki makna yang dalam. Tragedi, kehilangan dan kesedihan mungkin bukan hal-hal yang dapat dielakkan dalam hidup. Namun, bagaimana kita mencari dan menemukan apa yang tersedia dari alam dan hal-hal yang ada di sekitar kita, bisa menjadi sumber daya yang memulihkan. Lepas dari apa yang orang pikirkan dan prediksi tentang kita, apa yang kita pikirkan dan kita pilih lah yang akan menentukan masa depan kita. Selalu ada keajaiban, tergantung bagaimana kita melihat dan mencoba merasakan apa yang tersembunyi, bahkan dari hal-hal sederhana dan mungkin sepele. Bergerak lah, bebaskan pikiran dan perasaanmu. Temukan "taman rahasia"-mu sendiri...


Also available on goodreads.




Cerita dari "Nadira (9 dari Nadira)"


Sekelumit Rasa tentang "Nadira"
"Nadira" adalah hadiah dari seorang teman baik, yang rela membawakan buku ini dalam perjalanan ke Indonesia Timur. Ia menyusul saya untuk menunaikan pekerjaan di Manokwari. Jadi buku ini sudah terbang bolak-balik melintasi laut dan pulau. "Nadira" juga menjadi teman perjalanan saya saat pulang. 

Menulis ulasan tentang Nadira sebenarnya memiliki makna yang lebih dari sekadar mengulas. Membaca "Nadira" mengingatkan saya tentang kehidupan lebih dari satu dekade silam. Saat saya hampir setiap hari berada di ruang redaksi sebuah harian terkemuka di Jawa Barat. Saya bukan wartawan seperti Nadira, tapi saya belajar banyak dari dinamika yang terjadi di dapur redaksi. Saat itu, koran cetak masih memiliki daya dan berjaya. Belum tergilas berita online dan media sosial, yang meskipun cepat menyampaikan kabar, jarang memiliki kedalaman isi. Hingga sekitar tahun 2012, koran masih dicetak dengan menggunakan kertas berkualitas baik, dengan jumlah halaman yang mencapai puluhan. Laporan mendalam tersaji hampir di setiap edisi, yakni suatu laporan terencana yang disusun berhari-hari. Perlahan kualitas ini menurun, hingga kini koran cetak hanya tinggal beberapa lembar saja, itupun dengan hasil cetakan yang tidak bisa dibilang baik. Kios koran/majalah langka ditemui. Pedagang asongan yang menjual koran di lampu merah pun kini rompi yang bertuliskan nama-nama media yang mensponsori mulai pudar warnanya. Tampaknya juga tak akan ada rompi pengganti. 

Cerita tentang Nadira juga membuat saya berefleksi tentang diri saya saat ini. Saya bukan lagi bagian dari ruang redaksi. Kini saya bagian dari institusi yang kerap menjadi sorotan dan objek kritik para jurnalis. Namun, entah bagaimana Mba Leila dapat menuliskannya dengan memenuhi rasa keadilan. Berikut saya cuplik dari "Nadira":

Masyarakat wartawan, di mata Nadira, adalah sebuah masyarakat yang selalu menuntut hal-hal yang besar, yang terbaik, terkadang muluk dan paradoksal. Sebuah masyarakat yang, terkadang tidak sadar, merasa moralnya berada di atas apa yang disebut sebagai 'masyarakat awam'. Sebuah kelompok yang mengklaim dirinya sendiri sebagai pembawa kebenaran, atau bahkan mesiah yang bisa menyembuhkan borok dalam pemerintah dan borok dalam masyarakat. Masyarakat wartawan mirip rombongan komentator olahraga yang dengan asyiknya berkata, "Ya, tendangannya kurang akurat kali ini saudara-saudara...," dan mereka sendiri bukanlah pemain bola. Bahkan menyentuh lapangan rumput pun tak pernah. 

Wartawan adalah observer. Pengamat yang seringkali tidak memiliki keahlian dalam hal atau bidang yang Ia tulis. Wartawan mengandalkan pengamatan dan data yang diperoleh dari wawancara dengan narasumber, data (dalam bentuk statistik) atau data yang dikumpulkan di lapangan. Oleh karena itu, dalam sebuah berita yang menyangkut berbagai pihak atau minimal dua pihak, wartawan harus memenuhi prinsip "cover both side". Tidak bisa hanya mengandalkan keterangan dari satu pihak saja. Ini adalah sisa-sisa ingatan dari pelatihan jurnalistik yang pernah saya ikuti enam belas tahun silam. 

Secangkir Teh 
Jika dalam kumcer Nadira ada petugas OB yang selalu menyediakan kopi jahe, saya jadi teringat, sungguh nikmat rasanya saat tiba di kantor, tak berapa lama ada yang mengantarkan secangkir minuman hangat ke meja. Teh atau kopi sesuai permintaan saja. Teh yang dibuat dengan menuang air yang masih bergolak di atas panci, lalu ditambahkan gula pasir, dikocek, diantarkan dengan bersemangat, dan ditambah bonus senyuman. Interaksi antar manusia yang menimbulkan rasa hangat, rasa kebersamaan, dan mengingatkan bahwa kita tidak sendirian di dunia yang terkadang kejam ini. 

Menjelang siang, jika mulai lapar, tapi malas beranjak keluar kantor, cukup memanggil OB yang sedang bertugas untuk membelikan kita makanan. Di jam makan siang, biasanya ada pemandangan kumpulan para OB yang sedang menikmati makan siang. Ada yang membawa nasi dan lauk pauk dari rumah. Atau ada yang mendapatkan jatah lauk-pauk sebagai upah membelikan makanan karyawan lain. Kemudian mereka akan menggabungkannya, dan menyantapnya bersama-sama. Tidak ada yang tertinggal. Kalau kebetulan kita lewat, mereka tak lupa menawarkan kita untuk ikut bersantap. 

Dahulu mereka adalah bagian resmi dari perusahaan. Para OB mendapatkan juga predikat karyawan. Belakangan, untuk mengurangi beban perusahaan security dan OB bukan lagi karyawan organik, tetapi karyawan outsourcing. Di mata neraca keuangan perusahaan, kesetiaan atau hubungan emosional tidak masuk pertimbangan. Mana yang merupakan beban dan bisa dihilangkan, tentu lambat laun akan dipangkas. 

Pembelaan terhadap para OB yang dilakukan para redaktur dan wartawan di harian tempat Nadira bekerja, masih mendapatkan pertimbangan manajemen dan diterima pada masa itu. Namun, saat ini bagaimana pembelaan bisa dilakukan, manakala posisi wartawan pun adalah karyawan kontrak. 

Kita masih penikmat secangkir teh atau kopi yang hangat. Namun, kehidupan sudah jauh melesat ke arah yang mungkin tak pernah kita duga. Secangkir minuman penghangat hati, yang menemani lahirnya rangkaian huruf yang menjelma menjadi kata, melahirkan rangkaian kalimat, membangun sebuah tulisan yang kelak menjadi bagian dari sejarah suatu masa, yang disebut silam. 

Masa Kini
Saat ini saya mungkin bisa menjadi salah satu subjek berita "Nadira". Beberapa waktu lalu saya sempat diwawancara mahasiswa yang sedang magang di kanal media/berita lokal independen, yang seringkali mengangkat isu masyarakat marjinal. Isu yang mungkin tak akan Anda temui di media-media besar.

Saat ini saya ada di sisi "pemerintah", pegawai berseragam. Saya senang bukan kepalang, saat kegiatan yang Saya upayakan bersama kawan-kawan setia, di tahun kelimanya bisa diliput teman-teman media. Kisahnya dituliskan dari sudut pandang pihak ketiga. Namun, di sisi lain dengan keterbatasan "lahan" penulisan berita, tidak semua hal dapat termuat. Jika di media cetak dahulu dibatasi kolom, maka instagram dan juga website akan membatasi jumlah karakter atau durasi. Maka tentu saja, tidak seluruh hal yang menurut Saya "penting" dapat dituangkan. Kaidah "cover both side" juga mungkin belum tersampaikan sepenuhnya, karena dalam hal ini, "idealnya" menurut saya, masih ada pihak lain yang perlu diwawancara. Isu yang diangkat memiliki banyak aspek dan dapat dilihat dari beragam sudut pandang. Tapi kita tidak bisa memuaskan semua pihak kan? 

Lantas memuaskan siapa? Hal ini juga jamak terjadi dalam pergulatan batin orang-orang yang duduk di pemerintahan. Moralitas dan idealisme toh bukan hanya milik sekelompok orang. Keduanya ada dimana-mana. Meskipun kadang bersembunyi di lubuk hati yang terdalam. Bukan karena tidak pernah diteriakkan dengan lantang, tetapi terus digerus arus deras dan dilindas realita, yang tak pernah sejalan dengan idealisme. 

Lalu dimana moralitas? Bertahan dengan apa yang dianggap benar, meskipun mungkin tak juga bisa dibisikkan. Hanya dilakukan, hari demi hari, ditulis dalam lembar demi lembar dokumen kerja. Menunggu untuk "ditemukan". Menunggu untuk dapat disampaikan dalam rapat kerja. Apa yang sebenarnya terjadi, apa realita di lapangan? Kami masih ada meski senyap. Kaum berseragam dengan idealisme yang dipertahankan oleh selaput moralitas. 

Saya jadi teringat obrolan dengan seorang pengemudi travel yang tiap harinya berjuang mengantarkan orang sampai tepat waktu di bandara. "Kalau orang kantor kan tahu-nya teori, kita yang di jalan yang tahu kondisi lapangan. Mereka mana mau tahu kalau lewat tol dalam kota itu macet. Kalau kita ambil rute yang berbeda dan ada apa-apa, ya kita tanggung jawab sendiri. Kantor gak' mau tahu. Tapi kalau kita lewat jalur yang ditentukan, penumpang jadwal terbangnya mepet, kan complain-nya juga ke kita," ujar dia. Kadang nurani memang tidak sejalan dengan SOP. 

Saya jadi merenung, betapa yang tertulis dalam juknis harus diadaptasi lagi saat diterapkan di lapangan. Terlalu banyak variabel dan cerita di dunia nyata. Tidak seindah angka-angka statistik program yang bisa dirancang "lebih baik" naik atau turun. Angka-angka tidak menceritakan kisah personal. Sementara pekerjaan saya lebih banyak berkutat pada kisah hidup manusia. Everyone matters. No one really matters. Atau Nothing Else Matters nya Metallica?

"Nadira" dan Cerita Lainnya
Novel ini saya selesaikan selama 4 hari. Dari sebuah kamar hotel di Manokwari, di bandara Rendani, dalam penerbangan dari Manokwari ke Sorong, dari Sorong ke Makassar, dari Makassar ke Soekarno-Hatta, hingga perjalanan darat dari bandara terakhir ke rumah. Halaman-halaman terakhir Nadira saya selesaikan di rumah dan menyisakan banyak pertanyaan tentang tokoh-tokoh yang berkaitan dengan Nadira. 

Nadira juga menjebol kembali rasa kehilangan yang pernah hadir tiga tahun silam. Kehilangan yang tiba-tiba. Kemala Suwandi memutuskan mengakhiri hidupnya. Tanpa penjelasan, tanpa kata-kata. Meninggalkan pertanyaan mendasar, "Kenapa?" Pertanyaan sama yang masih sering muncul di kepala. Kenapa dia? Kenapa sekarang? Sementara untuk Nadira yang tak sempat membaca pertanda, "Kenapa Ibu memutuskan mengakhiri semuanya? Kenapa sekarang?" Saya paham betapa butanya kita terhadap orang-orang terdekat, padalah kita mengklaim memahami mereka seutuhnya. Menyakitkan.

Teringat dalam satu sesi saya bersama klien, saat kami membahas tentang "suicidal issue". Ia mengatakan pada saya, "Kalau semua sudah ditulis, bukankah apa yang saya pilih dan lakukan untuk mengakhiri hidup, juga memang sudah tertulis? Saya lelah. Saya hanya ingin bertemu dengan Dia. Dia yang menciptakan Saya. Saya rindu Dia." 

Saya termangu. Saya tidak punya jawaban. Saya hanya membiarkan kalimat-kalimat tadi meresap dalam keheningan. Sebelum Saya mencoba menemaninya kembali ke masa kini dan menengok kembali ke belakang. Menyusun kepingan.  

(akan ada ulasan tentang Nadira as a book or as a novel) 


 

Heartbreak Motel



Penulis: Ika Natassa
Terbit: 2022, cetakan keempat Agustus 2022
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Halama: 400 hal

Ava Alessandra, seorang aktris yang sedang berada di puncak karir sedang mengambil rehat setelah menyelesaikan sebuah peran untuk film terbarunya. Ava begitu mencintai pekerjaannya. Dunia akting yang Ia geluti sejak berusia 16 tahun. Masa-masa sulit yang berhasil Ia lalui dengan dukungan almarhumah Ibu. Ava cantik, menarik dan berbakat. Namun totalitas yang membuat Ia berbeda, sehingga Ava hampir selalu mendapatkan tawaran dari sutradara atau produser dalam film yang diproyeksi akan mendapatkan apresiasi yang baik dari penonton.

Ava memiliki ritual tersendiri saat sudah menyelesaikan sebuah peran dalam film yang Ia perankan. Ava akan menyendiri, menginap di hotel favoritnya, sampai Ia merasa cukup, yakni saat Ia telah kembali menjadi Ava Alessandra. Ia sudah keluar karakter dari tokoh yang Ia perankan. Ava memang mempelajari teknik akting dan menggunakan metode yang Ia rasa paling cocok dengan dirinya atau yang paling cocok untuk masuk ke karakter yang Ia perankan.

Dalam kehidupan pribadinya, sebagai Ava, dan bukan aktris yang orang lihat di layar kaca, Ava memiliki pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidupnya. Tentang mengapa dan bagaimana almarhum Ibu menjalani kehidupan yang Ia pilih hingga akhir hayatnya. Juga tentang Bapak. Seseorang yang Ava masih kenali wajahnya, tetapi pergi begitu saja dari kehidupan Ibu dan dirinya. Namun, bertahun-tahun Ibu menerima. Ibu tetap tenang dan rutin berdoa pada Yang Maha Kuasa.

Hingga pada suatu ketika Ava bertemu dengan "pertanyaannya". Ava yang kini memiliki segala sumber daya yang Ia butuhkan untuk mendapatkan jawaban, mengambil risiko yang diperlukan. Ya, Ia memang mendapatkan jawaban.

Di sisi lain, Ava mulai membuka hatinya untuk Raga. Pria yang tak sengaja bertemu dengannya saat Ia menjalani "pengasingan" di hotel favoritnya. Namun, masih ada Reza. Pria yang pernah menjadi kekasih Ava dan memiliki profesi yang sama. Apakah mereka benar-benar sudah "selesai". Ava mencoba menjauh dan menyingkirkan Raga, tetapi justru Raga yang akhirnya membantu Ava menempuh perjalanan ke dalam dirinya, mengenali dan menerima dirinya sendiri.

*Satu yang menggelitik dari karakter Rangga adalah terlalu sempurna dan minim deskripsi latar belakang. Rangga hanya digambarkan sebagai penyelamat Ava. Bukan seseorang dengan masa lalu atau problema.

Juga bisa ditemukan di goodreads.


What I Talk About When I Talk About Running

Belum banyak buku Haruki Murakami yang saya baca. Setelah membaca beberapa buku, saya juga belum memutuskan apakah Haruki Murakami adalah pe...